Agrowisata Kebun Teh Tambi Wonosobo
*jiahh kemana aja selama ini Mi?*
Oke, jadi inilah cerita saya tentang kunjungan pertama ke Agrowisata Kebun Teh Tambi Wonosobo.
Terletak di Desa Tambi, Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Agrowisata ini siap menawarkan sesuatu yang
spesial bagi para pengunjungnya. Jaraknya yang hanya sekitar 16
kilometer di sebelah utara Wonosobo (searah ke Dieng Plateau)
membuatnya mudah dijangkau dengan kendaraan kecil seperti sepeda motor,
mobil pribadi ataupun bus kecil. Jika perjalanan lancar, membutuhkan
waktu sekitar 20 menitan untuk sampai lokasi.
Hari masih pagi. Matahari masih redup
tertutup awan. Tea walk yang saya ikuti ternyata dimulai dari sebuah
pintu kecil yang tersembunyi di bagian belakang kompleks Villa Tambi.
Bukan dari jalan kampung utama yang ada di depan pabrik pengolahan teh.
Begitu pintu dibuka, saya terkejut!
Subhanallah, hijaunya perkebunan teh
terhampar bagai permadani. Mata ini yang sehari-harinya berkutat dengan
layar monitor selama belasan jam di kubikel langsung terasa rileks.
“Mas-mbak, silakan ikuti saya,
pelan-pelan saja, jalannya licin.” seru Pak Puji dari pelantang portable
yang dibawanya. Pak Puji adalah karyawan PT Tambi yang menjadi guide
apabila ada tamu yang berkunjung. Tentunya berbeda orang dengan Syeh
Puji yang “itu”. *penting dijelasin?*
Pak Puji lalu mulai bercerita panjang
lebar tentang sejarah PT Tambi. Sementara saya dan teman-teman
mendengarkan sambil bengong di belakangnya. Beliau jalan kemana, kami
ikut berbaris di belakangnya. Seperti kawanan itik yang tersesat
diantara lebatnya kebun teh.
Pada awalnya, perkebunan teh ini bernama
Bagelen Thee & Kina Maatschappiij dibawah komando Belanda pada
tahun 1885. Namun seiring perkembangan jaman, kini perkebunan teh ini
dikelola oleh PT Tambi.
Agrowisata Perkebunan Teh Tambi Wonosobo
ini berada di lereng Gunung Sindoro. Sekitar 1400 meter diatas
permukaan laut. Ada 2 varietas teh yang ditanam disini. Thea Sinensis
dan Thea Assamica. Menurut penjelasan guide, secara kualitas lebih bagus
jenis teh sinensis daripada teh assamica.
“Untuk memetik teh, tidak boleh
sembarangan, ada tekniknya, tergantung akan diolah menjadi teh jenis
apa. Contohnya begini.” Kata Pak Puji sambil mempraktekkan cara memetik
pucuk utama daun teh.
“Jangan sampai salah, karena akan
berpengaruh pada kualitas tunas baru yang akan tumbuh nantinya. Jadi
hanya 3 pucuk daun teh teratas saja yang dipetik.”
Saya iseng dong ikut memetik satu lembar pucuk daun teh yang masih berwarna hijau muda.
“Pak kalau minuman teh hijau di Jepang
itu dari tunas daun yang seperti ini?” tanya saya serius. Seperti
seorang murid SMP yang sedang bertanya tentang Trigonometri kepada guru
matematikanya.
“Iya, betul mas, teh hijau itu tanpa proses fermentasi. Daun langsung dibuat minuman. Ada kandungan antioksidannya juga.”
Spontan saja saya kunyah pucuk daun teh itu. Dan rasanya… sepet. Saya cuma bisa nyengir kuda hehehe.
Berpindah lokasi, saya dan rombongan
lalu dipertemukan dengan ibu-ibu pemetik teh yang sedang sibuk panen
pucuk-pucuk teh dengan menggunakan gunting besar. Mereka yang
diperbolehkan menggunakan alat untuk memetik pucuk teh adalah yang sudah
ahli. Kalau pemetik yang masih junior atau belum ahli, tetap
menggunakan teknik manual, petik tangan.
Rata-rata, ibu-ibu pemetik teh ini
adalah penduduk kampung sekitar perkebunan. Mereka sudah bekerja puluhan
tahun, bahkan turun-temurun antar generasi. Saya sempat mencoba
membantu memetik pucuk-pucuk teh [baca: ngrecokin si ibu] dengan gunting
besar itu. Dan hasilnya… luput alias gagal hahaha. Susah juga kalau
belum terbiasa euy.
0 komentar:
Post a Comment